Apakah cukup hanya dengan menuding suatu bangsa karena mereka disandangi dengan sebuah karakter, sehingga, karena sejumlah warga negeri terkait menjadi pelaku kekerasan, yang lain langsung diberikan vonis yang sama? Akan menjadi sahkah kalau kita digeneralisasi secara itu juga, ketika, misalnya, ada satu Gayus berjaya dan kita se-Indonesia harus menanggung beban memakai kaus pesakitan?
Kalau kita siap memasukkan bangsa lain dalam kumpulan kambing hitam, bangsa Indonesia harus siap juga mengakui sederet fakta yang tidak enak, misalnya telah dikenalnya mereka dengan status angka kemiskinan yang masih menyolok (berapa ya?). Sementara orang cenderung menyalahkan tabiat bangsa lain, seyogianya ada yang dapat menata meja debat dengan tema gerakan penyadaran ke arah yang lebih baik. Kalau negara lain bisa dituding atas tuduhan telah memungkinkan pelanggaran kemanusiaan, lalu bagaimana dengan Indonesia? Bukankah pernah ada kritikan bahwa penjualbelian manusia sudah menjadi tabiat bangsa ini pula?
Ternyata rakyat Indonesia masih jauh dari kemakmuran sehingga masih ada keinginan untuk memperdagangkan manusia-manusianya sendiri ke luar negeri. Isu yang sudah mendekade soal kasus-kasus penculikan anak-anak untuk dijual ke sindikat pelacuran dalam dan luar negeri malah menjadi inspirasi untuk niaga manusia secara ‘legal’.
Tingkat kesejahteraan yang rendah sebenarnya hanya merupakan kilasan bukti bahwa kegiatan perekonomian individu maupun kelompok belum mengimpikan kebahagiaan bersama, masih lu-lu gue-gue. Indonesia boleh lega sedikit ketika semangat wirausaha tampak menjamur di kalangan para warganya. Namun apakah itu sudah menjadi tanda bahwa kita menjadi bangsa yang ‘full’ dengan rasa kebersamaan? Kita belum pernah merasa aman bahwa, dalam mengikuti arah suatu bisnis, hukum akan menjamin hampir segalanya akan oke Ketika seorang teman menawarkan kerja sama dengan Anda, seberapa sering Anda puas menyadari bahwa teman Anda tidak sedang me-‘rip-off’ Anda? Atau seberapa pernah kita memikirkan dampak sosial, dan juga lingkungan, yang dapat muncul dari transaksi-transaksi yang ada?
Memanfaatkan situasi atau hiruk-pikuk pembangunan dengan jalan aktif berdagang dan membuka usaha tentunya sangat sah-sah saja, dan bahkan wajib hukumnya, menurut kebanyakan agama dan sistem hidup yang kita anut. Tetapi hendaknya hal itu di-plus-kan dengan fasilitasi bagi pembinaan orang-orang lain yang juga perlu untuk maju. Di suatu majalah keluarga, ada ulasan tentang ikatan dengan sesama atau kerabat yang jika dinafikan akan membuat kita bagai mayat berjalan. Mati rasa akan menjadikan tidak ada manfaat perbuatan kita yang bakal dirasakan oleh orang lain secara umum.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS al-Hadiid, ayat 25)
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (QS ar-Ra’d, ayat 17)
Tags:
muslim